Belum lama ini, saya membaca sebuah novel karangan Debra Gwartney, seorang Ibu yang sudah berusia lanjut, yang menceritakan kisah hidup bersama anak-anaknya yang senang memberontak dan memilih untuk tinggal di jalanan dan hidup menggelandang seperti tidak memiliki keinginan untuk hidup layak.
Kisah ini diawali dengan perceraian Debra dengan suaminya, Tom, yang sangat tidak peka terhadap keadaan keluarganya, yang mana sangat bertolak belakang dengan kepribadiannya. Karena peristiwa itu, dua anak Debra yang dewasa, Amanda dan Stephanie, melakukan hal-hal di luar kebiasaan mereka sebelum terjadinya perceraian itu. Seperti Amanda yang berusaha untuk menyakiti dirinya sendiri dengan cara mengiris tangannya. Sebuah cara untuk menunjukkan pemberontakan atas perceraian yang sangat menyakiti hati mereka. Mereka juga berusaha untuk kabur dari rumah, dan memilih hidup bersama para berandalan yang sering merokok, mentato tubuh mereka, memberi warna hitam kelam pada rambut, mata, dan kuku serta bibir, mengkonsumsi narkoba, dan sering berbuat rusuh. Karena pergaulan Amanda dan Stephanie yang di luar batas kenormalan, mereka juga terikut arus pergaulan yang tidak sehat itu, seperti Stephanie yang hampir saja membakar toilet sekolahnya. Kelakuan nakal ini sebenarnya hanyalah cara untuk mendapat perhatian dari kedua orangtua mereka.
Berbagai cara dilakukan Debra untuk mengembalikan karakter anaknya kembali menjadi tipe 'anak manis' seperti sebelumnya. Seperti marah-marah untuk menyadarkan mereka, menyewa tenaga mantan polisi LA yang bernama Steve untuk menangkap Amanda dan Stephanie, mengikuti terapi alam, yang biayanya sangat mahal, berharap anak-anaknya akan berubah karena tempaan dari hidup terpencil di hutan. Namun, semua usaha yang dilakukan Debra hanyalah suatu kesia-siaan belaka. Mereka sama sekali tidak luluh hatinya, bahkan secuil pun, untuk tinggal bersama Ibunya beserta dua adik perempuannya yang masih kecil, Mary dan Mollie. Debra menuliskan semua kisah jatuh bangunnya dalam menghadapi masalah yang sangat pelik ini.
Banyak pikiran yang terlintas di otak saya ketika membaca memoar Debra Gwartney ini. Perjuangan seorang Ibu membesarkan empat anak perempuannya sebagai single parent, perasaan ngeri hidup di jalanan, yang dilalui Amanda dan Stephanie yang sejatinya umurnya tidak jauh berbeda dari usia saya, dan perjuangan Debra untuk membawa anak-anaknya kembali ke dalam pelukannya. Hal itu juga selalu mengingatkan saya pada Ibu saya yang juga membesarkan (dua) anak perempuannya dalam status single parent. Tapi dalam kasus Ibu saya, anak perempuannya tidak berusaha kabur dan memilih tinggal di jalanan. hhe. Tapi saya tetap bertanya-tanya dalam hati, apa yang Ibu saya rasakan ketika saya dan adik saya melakukan suatu tindakan 'nakal' (yang masih dapat diterima secara nalar, tidak seperti yang dilakukan oleh Amanda dan Stephanie.
Saya telah membacanya dua kali dan sama sekali tidak mendapatkan perasaan bosan, karena saya merasa sangat 'jatuh hati' dengan kisah yang diceritakan oleh Debra. Setiap kali saya membaca sebuah novel, saya selalu menempatkan diri saya kepada salah satu tokoh dalam cerita. Dalam hal ini, saya menempatkan diri saya sebagai Amanda, agar saya tahu bagaimana berada dalam posisi anak yang tertekan batinnya karena konflik keluarga. Tapi (jujur) saya tidak ingin, saya atau pun anggota keluarga saya yang lain, merasakan apa yang dirasakan Amanda di kehidupan nyata. Naudzubillahiminzalik.
No comments:
Post a Comment