Teori Strategi Pembangunan
Strategi Pembangunan Nasional adalah rantai kebijakan dan aplikasi tentang Pembangunan Nasional. Pembangunan Nasional di Indonesia adalah pembangunan untuk mencapai tujuan nasional yang nyata seperti yang tertulis dalam UUD 1945 Indonesia. Ini adalah untuk melindungi semua rakyat Indonesia dan seluruh wilayah negara, untuk mempromosikan perdamaian dan kesejahteraan, untuk memperbaiki kehidupan nasional, dan untuk berpartisipasi dalam sistem dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Pembangunan bukan konsep statis. Proses pembangunan nasional adalah suatu proses perubahan budaya dan sosial. Sebuah pembangunan yang mengarah pada proses perbaikan yang memungkinkan pertumbuhan berkelanjutan (proses mandiri) tergantung pada masyarakat dan struktur sosial dan terutama tergantung pada para pemimpin nasional. Dampak dari situasi politik pada pertumbuhan ekonomi diilustrasikan oleh kenyataan bahwa, tanpa komitmen yang kuat untuk pengembangan ekonomi dengan kepemimpinan, tidak ada rencana ekonomi layak bisa diadopsi, dan pra-rencana langkah-langkah yang diperlukan tidak dapat diambil.
Umumnya, banyak negara (terutama negara-negara berkembang) mengambil pendekatan yang direncanakan untuk pembangunan. Pemerintah Indonesia telah digunakan Delapan Rencana Tahun (pada Orde lama) dan Rencana Lima Tahun (pada Orde baru). Perencanaan pembangunan di Indonesia melibatkan "perencanaan melalui pasar". Pemerintah investasi hanya pada fasilitas sosial, misalnya: jalan, pelabuhan, pelabuhan udara, dll
Elemen-elemen Pembangunan Indonesia Secara umum, ada dua faktor yang menentukan keberhasilan kegiatan pembangunan, yaitu: faktor ekonomi dan faktor non ekonomi. Fokus kegiatan pembangunan ekonomi di Indonesia adalah pada lima unsur, yaitu: sumber daya manusia, sumber daya alam, modal, teknologi, dan peran pengusaha.
Sumber Daya Manusia
Indonesia adalah salah satu dari lima negara terbesar di dunia jika dilihat dari segi jumlah penduduk. Namun ada beberapa kelemahan dalam sumber daya manusia sebagai unsur pembangunan ekonomi di Indonesia, seperti:
1. pertumbuhan penduduk sangat tinggi
2. usia penduduk ini tidak menguntungkan
3. penyebaran penduduk yang tidak seimbang
4. penduduk sangat rendah
Faktor-faktor yang tercantum di atas menjadi hambatan bagi pembangunan ekonomi di Indonesia. Ada beberapa program untuk menghilangkan hambatan-hambatan, seperti: Program Keluarga Berencana sebagai solusi untuk pertumbuhan penduduk yang tinggi dan usia yang tidak menguntungkan penduduk, program transmigrasi untuk memecahkan penyebaran penduduk yang tidak seimbang, pelatihan dan pendidikan sebagai solusi terhadap rendahnya kualitas penduduk. Namun pemerintah harus memberikan insentif untuk menggerakkan kegiatan ekonomi karena di desa banyak orang yang membutuhkan pekerjaan, dan ada "pengangguran terselubung".
Strategi Pembangunan Berwawasan Nusantara
- Wawasan adalah pandangan hidup suatu bangsa yang dibentuk oleh kondisi lingkungannya. Kondisi lingkungan hidup bangsa Indonesia adalah pulau atau kepulauan yang terletak di antara samudera pasifik dan atlantik, di antara benua Asutralia dan Asia (Nusantara).
- Pembangunan berwawasan nusantara sebenarnya tidak lain adalah pembangunan yang berwawasan ruang. Pembangunan berwawasan ruang (ekonomi regonal) tersirat dalam argumentasi Myrdall dan Hirschman, yang mengemukakan sebab-sebab daerah miskin kurang mampu berkembang secepat seperti yang terjadi di daerah yang lebih kaya (Suroso, 1994).
- Dilihat dari dimensi ekonomi-regional, Indonesia menghadapi dilema dualisme teknologis, yakni perbedaan dan ketimpangann mengenai pola dan laju pertumbuhan di antara berbagai kawasan dalam batas wilayah satu negara. Dilema teknologis menonjol karena adanya asimetri (ketidakserasian) antara lokasi penduduk dan lokasi sumber alam (Soemitro Djojohadikusumo, 1993).
- Menurut Laoede M. Kamaludin, penataan ruang di masa datang sebaiknya tidak hanya mengacu pada daratan, namun juga harus berorientasi pada penataan ruang kemaritiman. Sedikitnya terdapat tiga pendekatan yang dapat dikembangkan :
1. Pembangunan ekonomi berbasis teknologi tinggi, pusat pendidikan, jasa dan pariwisata. Ini tepat diterapkan di P. Jawa, Bali dan Batam.
2. Pembangunan ekonomi yang berbasis potensi kelautan. Ini lebih tepat dikembangkan di kawasan timur Indonesia dan kepulauan kecil di Sumatera.
3. Pembangunan ekonomi berbasis sumber daya mineral dan tanaman industry dapat dikembangkan di pulau Sumatera.
Strategi Pembangunan Indonesia
Hingar bingar pemilu presiden (pilpres) telah berangsur senyap. Tanggal 8 Juli 2009 seakan menjadi muara dari perjalanan panjang para calon presiden (capres). Jika tidak ada kejadian yang luar biasa kemungkinan besar kita akan mendapati SBY untuk kembali menjabat menjadi presiden RI. Dalam pilpres kali ini, banyak cerita yang telah bertempat tetapi hanya satu yang pasti terekam benar dalam benak publik yaitu janji-janji kampanye. Dalam setiap kampanyenya, para capres selalu menjadikan pertumbuhan ekonomi sebagai salah satu jualan utamanya. Pertumbuhan ekonomi pun ditarget mulai dari yang sulit hingga berat ditakar nalar. Terlepas dari irasionalitas dalam penentuan target pertumbuhan ekonomi, konsensus para capres untuk menjadikan pertumbuhan ekonomi sebagai tujuan utama merupakan sebuah perilaku yang obsolit. Para capres seakan kikir dalam berfikir sehingga khilaf dalam menentukan tujuan dan sarana. Oleh karenanya, menarik untuk dikaji apakah pertumbuhan ekonomi merupakan tujuan atau sarana demi menggapai sesuatu yang sifatnya lebih fundamental.
Tujuan dan Sarana Pembangunan
Amartya sen, dalam bukunya yang fenomenal berjudul Development as Freedom, dari jauh hari telah mengingatkan para penguasa bahwa pertumbuhan ekonomi tidak bisa semata-mata ditujukan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat. Lebih lanjut, Sen memberi saran untuk menjadikan pertumbuhan ekonomi sebagai sebuah jalan bagi pemerintah dalam meningkatkan fungsi pelayanan sosial kepada masyarakat. Subsidi pendidikan, kesehatan, dan jaring pengaman sosial sudah semestinya mendapat porsi utama dalam rencana jangka panjang pemerintah sebab dengan fungsi-fungsi inilah pembangunan ekonomi yang sehat dan berkelanjutan dapat dicapai. Dalam hal fungsi pelayanan sosial, khususnya pemenuhan kebutuhan pendidikan dasar, Jepang merupakan sebuah negara yang dapat dijadikan rujukan utama. Sejak zaman restorasi Meiji, rerata melek huruf di Negara ini telah melebihi bangsa-bangsa di Eropa meskipun pada zaman tersebut, Jepang masih tertinggal jauh dari Eropa dalam proses industralisasi. Berbekal pendidikan yang memadai, Jepang dalam waktu yang tidak begitu lama telah mampu mengejar ketertinggalannya dari Eropa. Kualiatas sumber daya manusia ditenggarai sebagai sumber utama yang pada gilirannya mengakselerasi pembangunan ekonomi Jepang. Dalam konteks ini, social opportunities merupakan kunci dari sustainabilitas pertumbuhan ekonomi. Visi jangka panjang dari pembangunan ekonomi Indonesia sudah semestinya berfokus pada perluasan akses dan kesempatan masyarakat terhadap pelbagai fasilitas ekonomi.
Konsensus Washington
Tujuan-tujuan ini sebenarnya telah terangkum dalam Konsensus Washington melalui beberapa poinnya. Poin pertama adalah melalui disiplin fiskal dimana hal ini merupakan syarat utama dari sustainabilitas Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN). Sudah merupakan rahasia umum bahwa APBN merupakan alat diskresi pemerintah yang paling ampuh, oleh karenanya dengan sistem money follow function, APBN dapat menopang laju pertumbuhan ekonomi. Celakanya, semangat dari masing-masing departemen adalah menaikkan rencana anggaran pada setiap tahun fiskal, hal ini pada gilirannya membuat APBN tidak prudent dan rentan terhadap shock eksternal. Asumsi disiplin fiskal juga merupakan fondasi demi menjalankan poin kedua dalam Konsensus Washington yaitu memfokuskan belanja pemerintah terhadap sektor-sektor yang dapat meratakan distribusi pendapatan masyarakat seperti penyediaan infrastruktur publik, subsidi kesehatan dan pendidikan. Pemenuhan akses publik ini tentunya dapat meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat secara umum. Poin berikutnya yang tak kalah penting adalah reformasi sistem perpajakan. Undang-undang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) yang baru tampaknya sudah mengakomodir poin ini, dimana satu hal yang paling fenomenal adalah mengenai perluasan basis pajak. Keberhasilan reformasi pajak tentu akan berkontribusi terhadap penerimaan Negara dimana seperti yang sudah kita ketahui bersama, peranan pajak hampir menyentuh 80 persen dari total penerimaan Negara. Hal ini pada gilirannya dapat diredistribusikan kepada sektor-sektor yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat seperti yang telah dijabarkan sebelumnya.
Beberapa poin penting lainnya adalah mengenai liberalisasi dan privatisasi. Liberalisasi yang dimaksud mencakup perdagangan, suku bunga dan investasi asing. Dalam formulasi pertumbuhan ekonomi, perdagangan memegang peranan utama. Ekspor dalam hal ini merupakan mesin dari pertumbuhan ekonomi. Ekspor yang berkesinambungan lajunya ternyata tak lepas pula dari sokongan investasi asing. Investasi yang dilakukan oleh perusahaan multinasional merupakan salah satu faktor penggerak ekspor Indonesia (Urata, 2009). Lebih lanjut, kepemilikan asing melalui jalan privatisasi telah mengenyahkan ketidakefisienan kerja dalam perusahaan bentukan pemerintah. Maraknya kepemilikan asing dewasa ini merupakan sebuah hal yang tidak perlu ditakutkan, karena kepemilikan asing bukan berarti asing memiliki seratus persen dari badan-badan usaha milik pemerintah, mayoritas kepemilikan tetap berada di tangan pemerintah. Berkaitan dengan hal ini, UU no 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU PM) telah menjadi payung hukum yang memadai. Tujuan penanaman modal, seperti yang disebutkan dalam Pasal 3 ayat 2 UU PM, adalah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan, meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional, mendorong pembangunan ekonomi kerakyatan, serta mewujudkan kesejahteraan masyarakat dalam suatu sistem perekonomian yang berdaya saing. Dalam hal mencapai tujuan-tujuan tersebut, UU PM didukung beberapa pasal seperti pada pasal 10 ayat 1 yang mewajibkan para perusahaan penanam modal untuk mengutamakan tenaga kerja yang merupakan warga negara Indonesia atau pada pasal 13 ayat 1 dan 2 mengenai pengembangan penanam modal bagi usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi yang merupakan penyokong utama bagi penciptaan kesejahteraan rakyat serta penopang pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Hal yang setali tiga uang dapat kita lihat pada pasal 18 ayat 3 mengenai fasilitas penanaman modal. Pasal ini mensyaratkan bahwa penanaman modal yang diberikan fasilitas harus memenuhi beberapa kriteria dimana salah satunya adalah banyak menyerap tenaga kerja.
Beberapa poin penting lainnya adalah mengenai liberalisasi dan privatisasi. Liberalisasi yang dimaksud mencakup perdagangan, suku bunga dan investasi asing. Dalam formulasi pertumbuhan ekonomi, perdagangan memegang peranan utama. Ekspor dalam hal ini merupakan mesin dari pertumbuhan ekonomi. Ekspor yang berkesinambungan lajunya ternyata tak lepas pula dari sokongan investasi asing. Investasi yang dilakukan oleh perusahaan multinasional merupakan salah satu faktor penggerak ekspor Indonesia (Urata, 2009). Lebih lanjut, kepemilikan asing melalui jalan privatisasi telah mengenyahkan ketidakefisienan kerja dalam perusahaan bentukan pemerintah. Maraknya kepemilikan asing dewasa ini merupakan sebuah hal yang tidak perlu ditakutkan, karena kepemilikan asing bukan berarti asing memiliki seratus persen dari badan-badan usaha milik pemerintah, mayoritas kepemilikan tetap berada di tangan pemerintah. Berkaitan dengan hal ini, UU no 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU PM) telah menjadi payung hukum yang memadai. Tujuan penanaman modal, seperti yang disebutkan dalam Pasal 3 ayat 2 UU PM, adalah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan, meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional, mendorong pembangunan ekonomi kerakyatan, serta mewujudkan kesejahteraan masyarakat dalam suatu sistem perekonomian yang berdaya saing. Dalam hal mencapai tujuan-tujuan tersebut, UU PM didukung beberapa pasal seperti pada pasal 10 ayat 1 yang mewajibkan para perusahaan penanam modal untuk mengutamakan tenaga kerja yang merupakan warga negara Indonesia atau pada pasal 13 ayat 1 dan 2 mengenai pengembangan penanam modal bagi usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi yang merupakan penyokong utama bagi penciptaan kesejahteraan rakyat serta penopang pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Hal yang setali tiga uang dapat kita lihat pada pasal 18 ayat 3 mengenai fasilitas penanaman modal. Pasal ini mensyaratkan bahwa penanaman modal yang diberikan fasilitas harus memenuhi beberapa kriteria dimana salah satunya adalah banyak menyerap tenaga kerja.
Perencanaan Pembangunan Nasional
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang merupakan landasan konstitusional penyelenggaraan negara, dalam waktu relatif singkat (1999-2002), telah mengalami 4 (empat) kali perubahan. Dengan berlakunya amandemen UUD 1945 tersebut, telah terjadi perubahan dalam pengelolaan pembangunan, yaitu : (1) penguatan kedudukan lembaga legislatif dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN); (2) ditiadakannya Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai pedoman penyusunan rencana pembangunan nasional; dan (3) diperkuatnya otonomi daerah dan desentralisasi pemerintahan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Mengenai dokumen perencanaan pembangunan nasional yang selama ini dilaksanakan dalam praktek ketatanegaraan adalah dalam bentuk GBHN yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) Ketetapan MPR ini menjadi landasan hukum bagi Presiden untuk dijabarkan dalam bentuk Rencana Pembangunan Lima Tahunan dengan memperhatikan saran DPR, sekarang tidak ada lagi.
Instrumen dokumen perencanaan pembangunan nasional yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sebagai acuan utama dalam memformat dan menata sebuah bangsa, mengalami dinamika sesuai dengan perkembangan dan perubahan zaman. Perubahan mendasar yang terjadi adalah semenjak bergulirnya bola reformasi, seperti dilakukannya amandemen UUD 1945, demokratisasi yang melahirkan penguatan desentralisasi dan otonomi daerah (UU Nomor 22/1999 dan UU Nomor 25/1999 yang telah diganti dengan UU Nomor 32/2004 dan UU Nomor 33/2004), UU Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, penguatan prinsip-prinsip Good Governance : transparansi, akuntabilitas, partisipasi, bebas KKN, pelayanan publik yang lebih baik. Disamping itu dokumen perencanaan pembangunan nasional juga dipengaruhi oleh desakan gelombang globalisasi (AFTA, WTO, dsb) dan perubahan peta geopolitik dunia pasca tragedi 11 September 2001.
Perjalanan dokumen perencanaan pembangunan nasional sebagai kompas pembangunan sebuah bangsa, perkembangannya secara garis besar dapat dilihat dalam beberapa periode yakni :
Dokumen perencanaan periode 1958-1967
Pada masa pemerintahan presiden Soekarno (Orde Lama) antara tahun 1959-1967, MPR Sementara (MPRS) menetapkan sedikitnya tiga ketetapan yang menjadi dasar perencanaan nasional yaitu TAP MPRS No.I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik republik Indonesia sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara, TAP MPRS No.II/MPRS/1960 tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana 1961-1969, dan Ketetapan MPRS No.IV/MPRS/1963 tentang Pedoman-Pedoman Pelaksanaan Garis-Garis Besar Haluan Negara dan Haluan Pembangunan.
Dokumen perencanaan periode 1968-1998
Landasan bagi perencanaan pembangunan nasional periode 1968-1998 adalah ketetapan MPR dalam bentuk GBHN. GBHN menjadi landasan hukum perencanaan pembangunan bagi presiden untuk menjabarkannya dalam bentuk Rencana Pembangunan Lima Tahunan (Repelita), proses penyusunannya sangat sentralistik dan bersifat Top-Down, adapun lembaga pembuat perencanaan sangat didominasi oleh pemerintah pusat dan bersifat ekslusif. Pemerintah Daerah dan masyarakat sebagai subjek utama out-put perencanaan kurang dilibatkan secara aktif. Perencanaan dibuat secara seragam, daerah harus mengacu kepada perencanaan yang dibuat oleh pemerintah pusat walaupun banyak kebijakan tersebut tidak bisa dilaksanakan di daerah. Akibatnya mematikan inovasi dan kreatifitas daerah dalam memajukan dan mensejahterakan masyarakatnya. Distribusi anggaran negara ibarat piramida terbalik, sedangkan komposisi masyarakat sebagai penikmat anggaran adalah piramida seutuhnya.
Sebenarnya pola perencanaan melalui pendekatan sentralistik/top-down diawal membangun sebuah bangsa adalah sesuatu hal yang sangat baik, namun pola sentralistik tersebut terlambat untuk direposisi walaupun semangat perubahan dan otonomi daerah telah ada jauh sebelum dinamika reformasi terjadi.
Sebenarnya pola perencanaan melalui pendekatan sentralistik/top-down diawal membangun sebuah bangsa adalah sesuatu hal yang sangat baik, namun pola sentralistik tersebut terlambat untuk direposisi walaupun semangat perubahan dan otonomi daerah telah ada jauh sebelum dinamika reformasi terjadi.
Dokumen perencanaan periode 1998-2000
Pada periode ini yang melahirkan perubahan dramatis dan strategis dalam perjalanan bagsa Indonesia yang disebut dengan momentum reformasi, juga membawa konsekuensi besar dalam proses penyusunan perencanaan pembangunan nasional, sehingga di periode ini boleh dikatakan tidak ada dokumen perencanaan pembangunan nasional yang dapat dijadikan pegangan dalam pembangunan bangsa, bahkan sewaktu pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid terbersit wacana dan isu menyangkut pembubaran lembaga Perencanaan Pembangunan Nasional, karena diasumsikan lembaga tersebut tidak efisien dan efektif lagi dalam konteks reformasi.
Dokumen perencanaan periode 2000-2004
Pada sidang umum tahun 1999, MPR mengesahkan Ketetapan No.IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004. Berbeda dengan GBHN-GBHN sebelumnya, pada GBHN tahun 1999-2004 ini MPR menugaskan Presiden dan DPR untuk bersama-sama menjabarkannya dalam bentuk Program Pembangunan Nasional (Propenas) dan Rencana Pembangunan Tahunan (Repeta) yang memuat APBN, sebagai realisasi ketetapan tersebut, Presiden dan DPR bersama-sama membentuk Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional 2000-2004. Propenas menjadi acuan bagi penyusunan rencana pembangunan tahunan (Repeta), yang ditetapkan tiap tahunnya sebagai bagian Undang-Undang tentang APBN. sedangkan Propeda menjadi acuan bagi penyusunan Rencana Pembangunan Tahunan Daerah (Repetada).
Dokumen perencanaan terkini menurut UU Nomor 25 tahun 2004 tentang SPPN
Diujung pemerintahannya Presiden Megawati Soekarno Putri menandatangani suatu UU yang cukup strategis dalam penataan perjalanan sebuah bangsa untuk menatap masa depannya yakni UU nomor 25 tentang Sistem Perencanan Pembangunan Nasional. Dan bagaimanapun UU ini akan menjadi landasan hukum dan acuan utama bagi pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk memformulasi dan mengaplikasikan sesuai dengan amanat UU tersebut. UU ini mencakup landasan hukum di bidang perencanaan pembangunan baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Dalam UU ini pada ruang lingkupnya disebutkan bahwa Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional adalah satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara pemerintahan di pusat dan daerah dengan melibatkan masyarakat.
Intinya dokumen perencanaan pembangunan nasional yang terdiri dari atas perencanaan pembangunan yang disusun secara terpadu oleh kementerian/lembaga dan perencanaan pembangunan oleh pemerintah daerah sesuai dengan kewenanganya mencakup : (1) Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dengan periode 20 (dua puluh) tahun, (2) Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dengan periode 5 (lima) tahun, dan (3) Rencana Pembangunan Tahunan yang disebut dengan Rencana Kerja Pemerintah dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKP dan RKPD) untuk periode 1 (satu) tahun.
Lahirnya UU tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional ini, paling tidak memperlihatkan kepada kita bahwa dengan UU ini dapat memberikan kejelasan hukum dan arah tindak dalam proses perumusan perencanaan pembangunan nasional kedepan, karena sejak bangsa ini merdeka, baru kali ini UU tentang perencanaan pembangunan nasional ditetapkan lewat UU, padahal peran dan fungsi lembaga pembuat perencanaan pembangunan selama ini baik di pusat maupun di daerah sangat besar.
Lahirnya UU tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional ini, paling tidak memperlihatkan kepada kita bahwa dengan UU ini dapat memberikan kejelasan hukum dan arah tindak dalam proses perumusan perencanaan pembangunan nasional kedepan, karena sejak bangsa ini merdeka, baru kali ini UU tentang perencanaan pembangunan nasional ditetapkan lewat UU, padahal peran dan fungsi lembaga pembuat perencanaan pembangunan selama ini baik di pusat maupun di daerah sangat besar.
Tapi pertanyaan kita, apakah UU nomor 25 tahun 2004 tentang SPPN ini tidak hanya bertukar kulit saja ? apakah RPJP, RPJM, RKP itu secara model dan mekanisme perumusannya sama saja halnya dengan program jangka panjang yang terkenal dengan motto menuju Indonesia tinggal landas, Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) dengan berbagai periode dan APBN sebagai program satu tahunnya semasa pemerintahan Orde Baru. Apakah aspirasi, partisipasi dan pelibatan masyarakat dalam proses penjaringan, penyusuna, pelaksanaan dan evaluasi dari perencanaan yang dibuat, masih dihadapkan pada balutan sloganistis dan pemenuhan azas formalitas belaka? Mungkin substansi ini yang perlu kita sikapi bersama dalam konteks perumusan kebijakan dokumen perencanaan pembangunan nasional maupun daerah ini kedepan
sumber:
No comments:
Post a Comment