Friday, 6 May 2011

Dualisme Kepemimpinan/Peraturan (Tulisan 1 Perekonomian Indonesia)

Gunadarma University


Dualisme adalah ajaran atau aliran/faham yang memandang alam ini terdiri atas dua macam hakekat yaitu hakekat materi dan hakekat rohani. Kedua macam hakekat itu masing-masing bebas berdiri sendiri, sama azazi dan abadi. Perhubungan antara keduanya itu menciptakan kehidupan dalam alam Contoh yang paling jelas tentang adanya kerja sama kedua hakekat ini adalah terdapat dalam diri manusia.
Kepemimpinan adalah proses memengaruhi atau memberi contoh oleh pemimpin kepada pengikutnya dalam upaya mencapai tujuan organisasi.Cara alamiah mempelajari kepemimpinan adalah "melakukanya dalam kerja" dengan praktik seperti pemagangan pada seorang senima ahli, pengrajin, atau praktisi. Dalam hubungan ini sang ahli diharapkan sebagai bagian dari peranya memberikan pengajaran/instruksi.
Seorang pemimpin harus mempunyai sifat yang berwibawa, tegas, bertanggung jawab atas segala kewajibannya yang harus ia lakukan, disiplin, dan bisa membimbing bawahannya. Tetapi, terkadang seorang pemimpin jika sedang jaya, ia lupa dengan sifat kewibawaannya dan tangung jawabnya. Seorang pemimpin yang idealis ialah seorang yang memiliki sifat-sifat yang cenderung baik dan dapat memipin dengan bertanggung jawab. Sekarang ini jarang menemukan pemimpin seperti itu, karena kebanyakan pemimpin cenderung memikirkan dirinya sendiri tidak bertanggung jawab dengan bawahan yang ia pimpin. Tapi masih banyak pemimpin yang memiliki sifat-sifat yang baik seperti itu.
-          Ciri-Ciri Seorang Pemimpin
Kebanyakan orang masih cenderung mengatakan bahwa pemimipin yang efektif mempunyai sifat atau ciri-ciri tertentu yang sangat penting misalnya, kharisma, pandangan ke depan, dayapersuasi, dan intensitas. Dan memang, apabila kita berpikir tentang pemimpin yang heroik seperti Napoleon, Washington, Lincoln, Churcill, Sukarno, Jenderal Sudirman, dan sebagainya kita harus mengakui bahwa sifat-sifat seperti itu melekat pada diri mereka dan telah mereka manfaatkan untuk mencapai tujuan yang mereka inginkan.
-          Kepemimpinan Yang Efektif
Barangkali pandangan pesimistis tentang keahlian-keahlian kepemimpinan ini telah menyebabkan munculnya ratusan buku yang membahas kepemimpinan.Terdapat nasihat tentang siapa yang harus ditiru (Attila the Hun), apa yang harus diraih (kedamaian jiwa), apa yang harus dipelajari (kegagalan), apa yang harus diperjuangkan (karisma), perlu tidaknya pendelegasian (kadang-kadang), perlu tidaknya berkolaborasi (mungkin), pemimpin-pemimpin rahasia Amerika (wanita), kualitas-kualitas pribadi dari kepemimpinan (integritas), bagaimana meraih kredibilitas (bisa dipercaya), bagaimana menjadi pemimipin yang otentik (temukan pemimpin dalam diri anda), dan sembilan hukum alam kepemimpinan (jangan tanya). Terdapat lebih dari 3000 buku yang judulnya mengandung kata pemimipin (leader). Bagaimana menjadi pemimpin yang efektif tidak perlu diulas oleh sebuah buku. Guru manajeman terkenal, Peter Drucker, menjawabnya hanya dengan beberapa kalimat: "pondasi dari kepemimpinan yang efektif adalah berpikir berdasar misi organisasi, mendefinisikannya dan menegakkannya, secara jelas dan nyata.
-          Kepemimpinan Karismatik
Max Weber, seorang sosiolog, adalah ilmuan pertama yang membahas kepemimpinan karismatik. Lebih dari seabad yang lalu, ia mendefinisikan karisma (yang berasal dari bahasa Yunani yang berarti "anugerah") sebagai "suatu sifat tertentu dari seseorang, yang membedakan mereka dari orang kebanyakan dan biasanya dipandang sebagai kemampuan atau kualitas supernatural, manusia super, atau paling tidak daya-daya istimewa. Kemampuan-kemampuan ini tidak dimiliki oleh orang biasa, tetapi dianggap sebagai kekuatan yang bersumber dari yang Ilahi, dan berdasarkan hal ini seseorang kemudian dianggap sebagai seorang pemimpin.
Contoh Terjadinya Dualisme Kepemimpinan
Dualisme Kepemimpinan Soekarno-Soeharto 1966-1967
Dualisme  kepemimpinan  Soekarno-Soeharto  pada  tahun  1966-1967
identik  dengan  adanya  dua  pemimpin  dengan  kewenangan  yang  sama  sebagai
kepala  pemerintahan  yaitu  Soekarno  yang  menjabat  sebagai  Presiden  dan
Soeharto  yang  menjadi  pengemban  Surat  Perintah  11  Maret.  Meningkatnya
wewenang  Pengemban  SP  11  Maret  inilah  yang  menjadi  fokus  utama  kajian
dalam  pembahasan  Dualisme  kepemimpinan  1966-1967  hingga  berakhirnya.
Alasan peneliti mengkaji dualisme kepemimpinan antara Soekarno dan Soeharto
karena masih  belum  adanya  penelitian  terdahulu  yang  lebih memfokuskan  pada
topik  dualisme  kepemimpinan  secara  lebih mendalam. Pentingnya  penelitian  ini
juga terkait dengan permainan politik yang terjadi dalam MPRS dan DPRG yang
didominasi  oleh  AD  untuk  meningkatkan  wewenang  Soeharto  dan  mengikis
kekuasaan  Presiden  Soekarno.  Peneliti  juga  tertarik  membahas  dualisme  kepe-
mimpinan, hal  ini dikarenakan penulisan  sejarah  sebelumnya banyak didominasi
penguasa Orde Baru. Oleh  sebab  itu, munculnya berbagai  interpretasi mengenai
tulisan  sejarah  saat  ini  diharapkan mampu memberikan  keterbukaan  akan  inter-
pretasi baru.  
Permasalahan  yang  peneliti  kaji  dalam  penelitian  ini  ialah  pertama,
bagaimanakah  situasi  politik  Indonesia  antara  tahun  1957-1966  sebagai  latar
belakang  dualisme  kepemimpinan,  kedua  bagaimanakah  terjadinya  dualisme
kepemimpinan  antara  Soekarno-Soeharto  dan  yang  ketiga  bagaimanakah  akhir
dari dualisme kepemimpinan tersebut.
Jenis  penelitian  dalam  kajian  ini  ialah  penelitian  sejarah  dengan
menggunakan  metode  studi  kepustakaan  dan  metode  historis.  Metode  studi
kepustakaan  (library  research)  yaitu menggali  sumber data dengan merujuk dari
bahan-bahan  pustaka  dan  referensi  lain  yang  relevan.  Metode  ini  dilakukan
dengan  cara mengumpulkan  data  dari  berbagai  sumber  pustaka  yang  kemudian
disajikan  dengan  cara  baru  dan  atau  untuk  keperluan  baru.  Peneliti  juga
menggunakan metode historis dengan tahapan penelitian sejarah.
Hasil  dari  penelitian  ini  adalah mengenai  situasi  politik  Indonesia  antara
tahun  1957-1966  yang  memberikan  gambaran  mengenai  dominasi  Angkatan
Darat  dalam  pemerintahan. Dominasi  tersebut  berpengaruh  pada  konflik  dengan
PKI  karena  AD  merasa  bahwa  PKI  dapat  mengancam  politiknya.  Presiden
Soekarno  juga  merasa  bahwa  dominasi  AD  dapat  mengancam  kekuasaannya,
sehingga Presiden mendukung PKI dalam berkonflik dengan AD. Pada akhirnya,
munculnya  Soeharto  sebagai  kekuatan  baru  dalam  AD  menjadi  tokoh  yang
mampu menumpas G 30 S dan menghancurkan PKI yang merupakan pendukung
politik Soekarno. 
Dualisme  Kepemimpinan  Soekarno-Soeharto  diawali  dengan  perbedaan
penafsiran mengenai Surat Perintah 11 Maret 1966 diantara keduanya. Soeharto
menganggap  bahwa  SP  11 Maret merupakan  penyerahan  kekuasaan,  sedangkan
Soekarno  merasa  bahwa  SP  11  Maret  hanyalah  perintah  pengamanan  belaka.
Tindakan  Soeharto  sebagai  Pengemban  SP  11  Maret  seperti  pembubaran  PKI
secara  de  facto merupakan  suatu  dualisme  kepemimpinan. Hal  ini  dikarenakan
sesuai dengan Penetapan Presiden No. 7  tahun 1959 bahwa sebenarnya Presiden
yang berwenang membubarkan partai, sedangkan isi dari SP 11 Maret  sebenarnya
hanyalah  merupakan  perintah  Presiden  dan    tidak  menunjukkan  peningkatan
wewenang  Soeharto.  Wewenang  Soeharto  sebagai  Pengemban  SP  11  Maret
selanjutnya  meningkat  setelah  MPRS  yang  didominasi  AD  bersidang  dan
menghasilkan Ketetapan  yang menimbulkan  dualisme  kepemimpinan  secara  de
jure. Ketetapan MPRS diantaranya dalam hal pembentukan Kabinet Ampera yaitu
Presiden  bersama-sama  Pengemban  SP  11 Maret  diberi wewenang membentuk
kabinet.  Kenyataannya,  Soeharto  yang  merupakan  ketua  presidium  kabinet
selanjutnya memimpin kabinet dan menguasai jalannya pemerintahan.
Tindakan Soeharto pada akhir masa dualisme kepemimpinan yaitu berhasil
mempersatukan  politik  AD  dalam  Doktrin  Tri  Ubaya  Cakti  dan  konsep  Orde
Barunya. Tindakan Soeharto selanjutnya yaitu dengan mengadili para pendukung
terdekat Soekarno mengenai keterlibatannya dalam peristiwa G 30 S/PKI. Dalam
pengadilan tersebut, Soekarno secara tidak langsung didiskreditkan mendukung G
30  S/PKI  yang  menyebabkan  semakin  berkurangnya  pendukung  dirinya.
Soekarno kemudian merasa  terdesak dan menyerah pada keadaan yang  terjadi,  ia
menyerahkan kekuasaan eksekutif pada Soeharto. Akhirnya MPRS mengeluarkan
Ketetapan  MPRS  No.  XXXIII/MPRS/1966  dalam  Sidang  Istimewa  yang
mencabut  kekuasaan  eksekutif  dari  Presiden  Soekarno.  Berakhirlah  Dualisme
Kepemimpinan  yang  terjadi  dengan  diangkatnya  Soeharto  menjadi  Pejabat
Presiden. Untuk penelitian selanjutnya, peneliti menyarankan agar sumber-sumber
primer dapat digali kembali sehingga diharapkan dapat menemukan sesuatu yang
baru mengenai Dualisme Kepemimpinan 1966-1967. 

sumber:

No comments:

Post a Comment